Jalan Panjang Pancasila: dari Soekarno hingga Kini


Sejarah kemunculan Pancasila erat kaitannya dengan dibentuknya satu badan panitia persiapan kemerdekaan (BPUPKI)[1], yang resmi berdiri pada tanggal 29 April 1945. Dari badan inilah muncul ide penentuan dasar negara. Dan pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno menyampaikan pidato di depan BPUPKI, tentang dasar negara.[2] Dalam pidatonya inilah Pak Karno mengeluarkan gagasannya mengenai lima dasar, yaitu; Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme, (Mufakat, Perwakilan, Permusyawaratan), Kesejahteraan, Prinsip Ketuhanan. Dan inilah cikal bakal Pancasila saat ini. Yang kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 rumusan Pak Karno tadi dimodifikasi kedalam bentuk Pancasila yang seperti ini.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Dualisme Politik Soekarno

Kegagalan konstituante dalam merumuskan dasar negara, membuat Presiden Soekarno bertindak. Pidatonya pada tanggal 5 Juli 1959 menegaskan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila, dan badan konstituante dinyatakan bubar.

Ide kembali ke pangkuan Pancasila sebagai dasar negara ternyata mengalami penyelewengan. Hal ini erat berhubungan dengan masalah kekuasaan. Isu-isu politik yang muncul pasca dekrit presiden, mengharuskan Soekarno membuat satu kebijakan khusus. Tiga kekuatan politik besar[3] yang ada saat itu bisa saja merongrong kekuasaan Soekarno bila tidak ditangani secara benar. Dan kebijakan Soekarno itu tertuang dalam gagasannya tentang NASAKOM (Nasionalis, Agamis,dan Komunis). Gagasan ini adalah upaya untuk meredam gejolak politik tersebut. Dengan menampung ketiganya dalam satu payung, Soekarno mencoba mengendalikan tiga unsur politik ini. Namun, dengan adanya upaya ini maka implikasinya, ada muncul semacam penghianatan Soekarno terhadap Pancasila. Soekarno berselingkuh. Meskipun dalam Pancasila sendiri, unsur-unsur NASAKOM ini nampak jelas ada di dalamnya. Tetapi dengan mengangkatnya dari sebuah substansi yang ada di dalam menjadi sebuah ideologi yang setara, maka penduaan ini tidak terelakkan. Indonesia harus mengangkat Pancasila sekaligus menjunjung NASAKOM-isme. NASAKOM adalah manifesti politik Soekarno dalam menyokong ide demokrasi terpimpin yang ingin dilakoninya. Dengan mengorbankan Pancasila ia ingin menciptakan dunianya. Slogan-slogan, kemakmuran, kesejahteraan, nasionalisme yang agamis ia berusaha mengangkat citranya. Dan tentu, Soekarno tidak akan bilang bahwa ada manipulasi politik di sini. Akhirnya masa kejatuhan kekuasaannya pun tiba. Kondisi negara berkebalikan dengan slogan-slogan Soekarno yang pada waktu itu ia gembar-gemborkan. Dengan inflasi keuangan negara sebesar 600 persen, maka era Soekarno pun berakhir, di tandai dengan penyerahan Supersemar, 11 Maret 1966.

Pancasila sebagai kepanjangan tangan rezim Orba (orde baru)

Di masa orde baru, Pancasila benar-benar mendapat tempat istimewa, di dalam diri bangsa Indonesia. Di setiap penjuru negeri, nama Pancasila selalu menggema. Di sekolah, di pasar, di rumah-rumah, dan terutama di instansi-instansi pemerintah. Dari besar kecil, tua-muda, semuanya harus berpaham Pancasilaisme.

Sebuah simulakrum di bangun orde baru untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya payung peneduh bangsa. Semua gagasan dan ide diarahkan kepada Pancasilaisme. Di sekolah anak-anak diajarkan bagaimana men-dharmabakti-kan diri hanya untuk Pancasila. Dengan kurikulum berbasis pancasilaisme, sejak dini anak-anak itu diprogam untuk dapat menerima Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa. Kemudian untuk yang tua, diberikanlah penataran-penataran mengenai P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dengan begitu sedikit demi sedikit kaum tua yang telah memiliki pandangan-pandangan ini akhirnya juga bisa diarahkan pada Pancasilaisme.

Titik puncak dari simulakrum itu hanyalah upaya rezim orde baru untuk mempertahankan kelanggengan kekuasaannya[4]. Upaya-upaya itu diciptakan untuk menimbulkan citra baik pemerintah di mata rakyat dan dunia internasional. Sepertinya Soeharto melihat betul Pancasila dapat dijadikan senjata pamungkas untuk mempengaruhi rakyat. Dengan slogan kebineka tunggal ika-nya, Pancasila dibuat seolah-olah menjadi potret manis pemerintahan rezim orde baru. Pancasila diusahakan sedemikian rupa untuk menjadi kain penutup borok-borok dan bopeng-bopeng rezim orba.

Selama tiga puluh dua tahun rakyat Indonesia diberi simulasi-simulasi miskin kebenaran mengenai Pancasila. Di masa orde baru, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa telah kehilangan jati dirinya. Pancasila bukan lagi Pancasila yang sebenarnya. Ia telah menjadi sebuah simulasi yang dibuat demi kepentingan sebuah rezim. Tali kekang rezim orde baru, membuatnya harus patuh pada sebuah kekuasaan.

Lima silanya ditawan jauh di dalam dunia bawah sadar manusia-manusia Indonesia. Tujuan suci yang diembannya diselewengkan begitu saja. Sebut saja sila ketiga; Persatuan Indonesia. Sila ketiga ini dibuat sedemikian rupa sehingga nampak bahwa hakikat yang ada di dalamnya adalah perlunya persatuan di dalam berbangsa dan bernegara. Ide persatuan dan kesatuan oleh Soeharto hanya dijadikan sebagai jimat penolak bala, dalam mempertahankan kekuasaannya.[5] Melihat Indonesia dengan keragaman yang sangat kaya, nampaknya hal itu menimbulkan phobia dalam diri pemerintahan soeharto. Dengan segala cara Soeharto berupaya untuk menyeragamkan Indonesia. Isu-isu budaya nasional dan lain-lain yang serba nasional, adalah satu dari sekian banyak upaya Soeharto dalam penyeragaman itu. Satu contoh lain yang sangat konkrit adalah penyeragaman kesamaan ideologi dalam lingkungan pegawai negeri, yang beirimplikasi adanya monoloyalitas[6]. Saya tidak melihat satupun PNS yang berpolitik dengan label hijau atau merah, semuanya terlihat kuning. Satu cara yang benar-benar jitu untuk mempertahankan kekuasaan.

Inilah penghianatan yang paling besar dalam sejarah keberadaan Pancasila. Kalau mungkin dalam era Soekarno (dengan NASAKOM-nya), Pancasila masih menjiwai dirinya. Maka, di era Soeharto terjadi dekontruksi luar biasa yang hampir-hampir menggantikan jiwa Pancasila dengan Soehartonisme. Penafsiran terhadap isi Pancasila di lakukan di sana-sini agar sesuai dengan jalan Soeharto. Dan bila di masa Soekarno NASAKOM dijadikan kedok untuk melanggengkan kekuasaan. Maka oleh Soeharto, Pancasila yang dijadikan kedoknya. Setelah kerusuhan Mei 1998, dan kekuasaan Soeharto jatuh, maka jatuh pula Pancasila di mata rakyat Indonesia. Stigma dan traumatik terhadap Pancasila telah terpatri dalam-dalam di hati manusia Indonesia. Dan tentu akan sulit untuk mengangkat kembali citra Pancasila di mata rakyat Indonesia. Kalau untuk mengangkat kembali citranya saja sudah susah, apalagi menjadikannya sebagai falsafah hidup kembali, pasti susahnya bukan main.

Relevansi dan reposisi Pancasila pasca orde baru

Reformasi 1998 membawa Indonesia ke dalam kondisi kehilangan pandangan hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Pancasila yang seharusnya menjadi dasar utama pemersatu pandangan-pandangan hidup manusia indonesia, kehilangan kesaktiaanya. Pancasila limbung diterpa “demokratisasi” dan krisis ekonomi. Kepercayaan masyarakat terhadapnya kiat surut. Dan bahkan sebagian memandang tidak ada perlunya lagi Pancasila dipertahankan. Pancasila sudah tidak relevan, bahkan tidak lagi berguna. Alih-alih menjadi pemersatu bangsa, Pancasila malahan dianggap sebagai pemicu perpecahan bangsa.

Kebencian-kebencian yang muncul karenanya tidak lagi bisa dihitung. Pancasila yang harus menjadi ideologi satu-satunya di Indonesia, mengharuskan paham-paham lain menyingkir jauh-jauh. Dan dari sinilah muncul sinisme-sinisme terhadapnya. Sinisme-sinisme ini kemudian berkembang menjadi benih-benih kebencian dan makar-isme. Upaya-upaya pemisahan diri, yang muncul di Aceh, Sulawesi, Papua, tidak lain karena ada pihak-pihak yang tidak sejalan dengan Pancasila.[7] Selain itu, Pancasila juga menjadi alat diskriminator terselubung dalam negeri yang beragam ini.

Dari sinilah kemudian muncul ide untuk memposisikan kembali Pancasila sebagaimana mestinya. Pancasila sebagai Pancasila tentunya. Bukan Pancasila yang salah tafsir, tapi tidak pula sebagai Pancasila yang menolak penafsiran-penafsiran. Pancasila akan terus bermetamorfosis mencari bentuknya. Secara umum bangsa Indonesia memandang Pancasila sebagai berikut; pertama, Pancasila sebagai suatu yang sacred, dan pandangan “ultimate”. Kedua, Pancasila sebagai fondasi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, Pancasila sebagai alat untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia.[8] ketiga esensi Pancasila ini akan terus ada dalam diri Pancasila. Kemudian bila ada penyelewengan makna terhadap Pancasila, itu berhubungan erat dengan pemerintahan yang ada. Dan bukan karena Pancasila itu sendiri. “Pancasila tetaplah Pancasila, yang selalu menjadi bentuk negoisasi-negoisasi terus menerus yang tidak pernah tunggal dan tidak pernah sempurna ke-eka-annya itu,” demikian tulis Goenawan Muhammad.[9]. Proses penafsiran terhadap Pancasila akan terus ada, dan terus mengisi khasanah kekayaan yang terkandung di dalamnya. Jadi, Pancasila akan relevan bila ia terus berproses untuk menemukan kesejatian dalam dirinya dan terus menjadi “Pancasila menjadi”.

Lalu posisi apa yang sesuai untuk Pancasila. Apakah diposisikan sebagai yang sakral? Apakah sebagai dasar negara? Ataukah sebagai jalan untuk mencapai tujuan bangsa? Mengenai hal ini saya beranggapan bahwa posisi Pancasila yang tepat adalah posisi yang mencangkup ketiga esensi itu. Pancasila tidak akan bisa dilepaskan dari ketiganya. Bila ia diposisikan sebagai yang suci saja maka yang muncul adalah perbudakan manusia terhadapnya. Dan ide ini akan dengan mudah dimanfaatkan sebuah rezim untuk kekuasaan. Dan bila hanya memposisikannya sebagai dasar saja maka yang nampak adalah disorientasi sebuah bangsa. Indonesia akan berjalan tanpa tujuan, tidak jelas apa yang apa yang dicari. Kemudian, jika hanya memposisikannya sebagi jalan untuk mencapai tujuan bangsa, maka yang muncul adalah kegagalan untuk mencapai tujuan itu. Bagaimana hendak mencapai tujuan, kalau jalan yang dipakainya tanpa pondasi. Jadi penting sekali untuk tetap memposisikan Pancasila dalan tiga pandangan ini.

Sebagai sebuah bangsa yang majemuk tentunya kita membutuhkan satu pandangan hidup (weltanschauung) bersama sebagai pemersatu bangsa. Lalu apa jadinya bila satu pandangan itu di hilangkan? Perang ideologi akan muncul. Ideologi agama, Marxisme, nasionalisme, tradisionalisme dan banyak lagi ideologi lain yang akan saling bertempur memperebutkan dominasi. Tentunya bila perang ideologi ini terus berlangsung maka tidak pelak menimbulkan kekacauan sistem sosial Indonesia. Untuk itulah kembali ke pelukan Pancasila adalah jalan yang tepat yang harus dipilih bangsa Indonesia.

Kembali saya teringat tulisan Goenawan Muhamad. “Pancasila adalah Pancasila buatan manusia. Tapi karena butan manusialah, ia tidak mengklaim dirinya suci dan sakti. Dengn demikian ia adalah cerminan dan juga cahaya dari dalam sebuah kehidupan bersama yang mengakui dirinya mengandung “kurang”, karena senantiasa bergulat antara ‘eka’ dan ‘bhineka’”.

Daftar Pustaka

Kristiyanto, Eddy, Etika Politik dalam Konteks Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, cet.I, 2001,

Muhamad, Goenawan, “Menggali Pancasila Kembali,” di sampaikan dalam simposium hari Pancasila, FISIP UI, Depok 31 Mei 2006.

Mulder, Niells, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, Yogyakarta: LKIS, 2001

Ranelan, R, Proses Lahirnya Pancasila, Jakarta: LSPN, 1987.

Sastrapratedja, M, “Pancasila sebagai Dasar Negara,” makalah digunakan sebagai pengayaan materi di STF Driyarkara (t.t.)

Saifuddin, Achmad Fedyani, “Reposisi Pandangan Mengenai Pancasila: dari Pancasila ke Multikulturalisme.” Di sampaikan dalam simposium hari Pancasila, FISIP UI, Depok 31 Mei 2006.

Sitompul, Einar Martahan, Nahdlatul Ulama dan Pancasila, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cet.1, 1989


[1] Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dalam bahasa jepangnya disebut “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai”, badan ini diketuai oleh KRT Radjiman Wediodiningrat,dan wakil ketuanya adalah RP. Suroso. Dengan anggota yang terdiri dari 60 orang Indonesia dan 7 orang Jepang. Dan dari 60 orang itu di antaranya ada Pak Karno, Ki Hajar Dewantara, Pak Hatta, Muhammad Yamin, dan Hadji Agus Salim.

[2] Dan hingga sekarang tanggal 1 Juni, ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila. Meskipun beberapa pihak menyebutkan bahwa pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin telah mengucapkan pidato mengenai Pancasila. Oleh Pak Karno disebutkan bahwa belum ada tokoh nasional yang memunculkan ide tentang dasar Negara sebelumnya. M. Sastrapratedja, “Pancasila sebagai Dasar Negara,” makalah digunakan sebagai pengayaan materi di STF Driyarkara (t.t.), mengenai hal ini bisa dilihat juga dalam, R. Ranelan, Proses Lahirnya Pancasila, Jakarta: LSPN, 1987.

[3] Tiga kekuatan politik ini masing-masing memiliki aliran yang berbeda. PNI dengan aliran nasionalisme, NU dengan aliran agama, dan PKI dengan aliran komunisme. Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cet.1, 1989, hal. 142.

[4] Azyumardi Azra, “Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme,” disampaikan dalam symposium ‘Hari Pancasila’, FISIP UI, 31 Mei 2006.

[5] Isu-isu kesatuan dan persatuan hanyalah upaya untuk menyeragamkan masyarakat Indonesia yang plural. Niells Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, Yogyakarta: LKIS, 2001, hal.104.

[6] Eddy Kristiyanto, Etika Politik dalam Konteks Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, cet.I, 2001, hal.172.

[7] Paham-paham itu misalnya Islamisme, komunisme, anti-jawaisme. Pancasila yang dimaksud di sini adalah Pancasila era rezim Soeharto.

[8] Achmad Fedyani Saifuddin, “Reposisi Pandangan Mengenai Pancasila: dari Pancasila ke Multikulturalisme.” Di sampaikan dalam simposium hari Pancasila, FISIP UI, Depok 31 Mei 2006.

[9] Goenawan Muhamad, “Menggali Pancasila Kembali,” di sampaikan dalam simposium hari Pancasila, FISIP UI, Depok 31 Mei 2006.

10 responses

  1. hua hua hua hua hua hua pancasila memang sial benar nasib u tapi tenang aku masih cinta padamu

    1. akh,, masak sih???

  2. keeeeeerrrrrrrreeeeeeeen buuuuuuuaaaaaaanget!
    i love Indonesia deh pokoknyaaaaaa :*

  3. Pancasila, tepatnya sebagai ideologi rapuh. Tidak tahan uji. Dan hanya ditegakkan menggunakan tangan besi. Ini sudah terjadi saat presiden soeharto berkuasa dan soekarno. Kita masih ingat istilah ekstrim kiri, ekstrim kanan, subversif, anti pancasila dsb

    1. dari satu sisi, saya setuju dengan pendapat seperti ini. Bahwa, memang pancasila hingga saat ini belum menemukan bentuk penterjemahan terbaik dirinya. soal tangan besi dalam penegakannya, itu soal lain. Lebih tepatnya, Pancasila dewasa ini memiliki nasib yang sama dengan UUD, UU, atau produk hukum lainnya di negeri ini. Penerapannya belum menemukan bentuk terbaiknya. Sedang menurut saya, secara teori (teks2nya), Pancasila begitu luar biasanya untuk menjadi sebuah ideologi dari sebuah bangsa.
      Dengan begitu dari sisi yang lain, saya tetap melihat potensi Pancasila sebagai pegangan hidup berbangsa dan bernegara yang baik dalam konteks keindonesiaan yang multikultural, multietnis, multiagama, dan sebagainya dibanding dengan ideologi lainnya yang kini hadir di tengah2 kita.

  4. Pancasila itu ideologinya orang-orang yang nggak punya agama…
    kalau pengikut ideologi kayak gitu itu ngerti bahwa Allah itu sudah menurunkan aturan hidup barmasyarakat dan hukum serta tata negara melalui alQur’an… kenapa manusia Indonesia ini sok pinter buat aturan seperti UU dan KUHP dan lambang burung kayak gitu.
    Dimanapun camkan kat-kata saya ini !
    Sampai kapanpun anda menunggu keadilan ( sosial, hukum, agama, dsb )
    tidak akan bakalan adil bagi seluruh manusia manakala keadilan itu ditentukan oleh hukum yang hukum itu sendiri yang buat ya manusia… hehehe… dasar goblok

    1. kenapa manusia perlu membuat robot dan pesawat untuk membantu kehidupan mereka di dunia….
      pancasila ideologinya orang tak beragama? benarkah demikian..? malah saya melihat bahwa islam yang rahmatal lil alamin sedang menterjemahkan dirinya dalam satu kerangka hukum yang dipahami manusia sebagai pancasila…..islam bisa hadir sebagai apapun untuk kebaikan manusia…dan saya rasa dari ajaran islam dan pancasila yang saya hayati, penghargaan pada manusia satu sama lainnya begitu besar, terlebih pada tuhannya…..dan sepertinya islam tidak mengajarkan umatnya untuk memaki manusia lainnya dengan kata2 kasar……orang yang bisanya hanya memakai kata2 kotor untuk mengatai orang lain karena ketidaksepakatannya dengan satu gagasan atau katakanlah ideologi, pribadi macam inikah yang katanya mengatakan islam sebagai panutannya? saya rasa itu kata2 syaiton yang terkutuk dalam bentuk kesombongan dengan rasa paling benar sendiri…buktikanlah kalau ajaran2 islam yang anda pahami rahmatal lil alamin… jangan sekedar memaki dan mengatai sak enak udele dewe…janjane kuwi sampean oleh ora setuju, tapi yo ojo nesu koyok ngono tah……..

    2. kenapa manusia perlu membuat robot dan pesawat untuk membantu kehidupan mereka di dunia….
      pancasila ideologinya orang tak beragama? benarkah demikian..? malah saya melihat bahwa islam yang rahmatal lil alamin sedang menterjemahkan dirinya dalam satu kerangka hukum yang dipahami manusia sebagai pancasila…..islam bisa hadir sebagai apapun untuk kebaikan manusia…dan saya rasa dari ajaran islam dan pancasila yang saya hayati, penghargaan pada manusia satu sama lainnya begitu besar, terlebih pada tuhannya…..dan sepertinya islam tidak mengajarkan umatnya untuk memaki manusia lainnya dengan kata2 kasar……orang yang bisanya hanya memakai kata2 kotor untuk mengatai orang lain karena ketidaksepakatannya dengan satu gagasan atau katakanlah ideologi, pribadi macam inikah yang katanya mengatakan islam sebagai panutannya? saya rasa itu kata2 syaiton yang terkutuk dalam bentuk kesombongan dengan rasa paling benar sendiri…buktikanlah kalau ajaran2 islam yang anda pahami rahmatal lil alamin… jangan sekedar memaki dan mengatai sak enak udele dewe…janjane kuwi sampean oleh ora setuju, tapi yo ojo nesu koyok ngono tah……..

      satu hal lagi terkait komentar sampean, Swedia kuwi lak jare ora negoro Islam to yo….bandingke karo Arab, Mesir, Libya….nilai keadilan disana katanya ditegakkan dibanding politik islam yang sampean agung2kan itu…dengan tingkat korupsi hampir 0 persen……

      sekolah lagi yang bener ya…… belajarah tasawuf, biar hatimu jernih……

      semoga allah memberi kelapangan dan cahaya pada jalan yang kita lalui, karna hanya kepada allah-lah kita memohon petunjuk dari segala kealpaan, ketidaktahuan, dan ketidakpahaman. amin.

  5. Hidup Pancasila………….( mohon izin di Copas ) thanks

Tinggalkan Balasan ke Mei Shara Defani Batalkan balasan